Penamaan yang Tepat Bandara Kuala Namu yang Baru
Jangan melupakan sejarah (Jas Merah), kata Bung Karno. Namun kadang sejarah sering terlupa oleh kita, sehingga sebuah objek yang memiliki nilai historis akhirnya menjadi kabur dan buyar seiring dengan perkembangan jaman. Seperti yang terjadi akhir-akhir ini tentang polemik penamaan atas Bandara Kuala Namu yang menurut rencana yang ditargetkan akan selesai pada akhir tahun 2012 ini dan sudah harus beroperasi paling lambat pada awal tahun 2013.
Banyak usulan dari Masyarakat tentang penamaan Bandara Kuala Namu yang akhir-akhir ini diberitakan oleh Media Massa. Ada yang mengusulkan nama bandar udara itu menjadi Sisingamangaraja, yang menjadi pahlawan nasional pertama dari Sumut tahun 1963, ada yang mengusulkan Sultan Sulaiman Shariful Alamsjah dari Serdang, ada yang mengusung nama Rizal Nurdin, mantan Gubernur Sumut, ada yang mengusung nama AH. Nasution, jenderal besar bintang lima dari Mandailing, ada yang mengusung nama Amir Hamzah sang Pujangga Melayu, ada yang mengusung Adam Malik, negosiator handal, “Si Bung Dari Siantar”.
Jika ditelisik lebih jauh, maka usulan seperti itu sebenarnya adalah usulan yang tidak memperhatikan sejarah yang sebenarnya. Bahkan diduga bahwa usulan-usulan penamaan bandara baru ini hanyalah sebagai unsur kesukuan belaka.
Bila kita ingin menelisik sejarah yang sebenarnya, maka orang yang paling berperan penting di daerah Kuala Namu sendiri adalah seorang putra Karo yang bernama Datuk Badiuzzaman Surbakti. Sejarah mencatat, apa yang dilakukan Sultan Deli dengan menyewakan tanah komunal kepada perusahaan perkebunan swasta asing telah menuai konflik berdarah.
Seperti yang dipublikasikan pada Harian Kompas, Sabtu, 30 Juni 2007, maka pada tahun 1870, Sultan Deli Mahmud Perkasa Alam telah memberikan tanah subur di wilayah Sunggal, yang membentang dari Pancur Batu di Kabupaten Deli Serdang hingga di pinggiran Selatan Kota Medan, sebagai wilayah konsesi perusahaan perkebunan tembakau De Rotterdam dan Deli Maschapij.
Pemberian tanah ini tanpa melalui perundingan dengan penguasa serta rakyat di wilayah Sunggal sehingga menimbulkan konflik bersenjata. Datuk Badiuzzaman Surbakti, pemimpin masyarakat Sunggal, pada tahun 1872 mengadakan perlawanan atas tindakan sepihak Sultan Deli. Perang pun pecah antara Sultan yang didukung Belanda dan masyarakat Sunggal yang dipimpin Badiuzzaman Surbakti.
Perang ini berlangsung dalam kurun waktu 23 tahun, dari tahun 1872 hingga 1895. Sejarah mencatat sengketa tanah ini sebagai Perang Sunggal. Perang ini menjadi penanda dimulainya sengketa tanah di Sumut yang melibatkan rakyat dengan perusahaan perkebunan.
Menurut Yamin, hukum agraria Barat yang dibawa Belanda juga memperkenalkan masyarakat Deli dengan konsep hak ulayat. Setelah tanah komunal mereka disewakan sepihak oleh sultan, perusahaan perkebunan memberikan tanah untuk dikelola rakyat. Tujuannya agar rakyat tidak merambah tanah yang telah dikonsesikan kepada perusahaan perkebunan.
Menurut catatan dari Malem Ukur Ginting yang ditulisnya sendiri dimilis Karo beberapa tahun yang lalu, bahwa Datuk Surbakti adalah pahlawan yang berperang lama untuk membebaskan tanah subur daerah ini dari perampokan kolonial. Artinya Datuk Badiuzzaman Surbakti adalah orang yang paling pantas ditempatkan namanya sebagai Nama Bandara baru ini, bukan SM Raja dan sebagainya. Karena sang Datuklah yang membayar harga tanah ini dengan cara berperang karena itu meruapakan tanah ulayat Suku Karo.
Dari catatan Malem Ukur Ginting lainnya menyebutkan bahwa dari penamaan Kuala Namu (Namo) saja diketahui bahwa daerah ini memang benar merupakan daerah ulayat Suku Karo.
Menurutnya, bahwa Kuala dalam bahasa Melayu adalah muara sungai atau pertemuan sungai dengan laut. Namo atau Namu berarti lubuk dalam bahasa Karo (namo bagi Karo gugung/gunung, namu bagi Karo jahe termasuk Karo Langkat).
Dalam kenyataan setiap kuala sekaligus juga adalah namo (lubuk) karena disitu aliran sungai telah jadi tenang dan dalam sebagaimana lubuk pada umumnya. Kualanamo atau Kualanamu merupakan kombinasi bahasa dua suku asli Sumtim. Nama ini sesuai dari segi bahasa dua etnis asli penduduk daerah.
Maka sesunguhnya jika ingin mencari alasan nama Bandara Kuala Namo dari latar belakang Sejarah dan Perjuangan, maka Nama Bandara Datuk Surbakti atau Badiuzzaman Internasional Airport adalah pilihan yang paling tepat. Karena Itu adalah Tanah Perjuangan orang Karo dari Belanda dan Datuk Surbakti adalah orangnya.
Bila banyak usulan nama tokoh yang akan menjadi nama baru Bandara Kuala Namu diluar dari nama Datuk Badiuzzaman Surbakti, maka usulan tersebut ternyata adalah sebuah usulan yang error terhadap realita sejarah yang ada. Namun bila ada usulan lain yang sering mengemuka, yaitu penamaan Bandara Kuala Namu harus menjadi representasi Sumatera Utara, maka pilihan yang paling tepat untuk menjadi nama baru Bandara Kuala Namu nantinya adalah bandara Kuala Namo Internasioanal Airport (KNIA) saja. Paling tidak disana tetap ada Bahasa Karo dan Filsafat Karo dalam penamaannya.
Sumber:
karobukanbatak.wordpress.com/.../penamaan-yang-tepat-ba...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar